PENJAGA WARISAN, PENGGERAK MARTABAT DAN EKONOMI LOKAL: TENUN IKAT DI PUNDAK BHAYANGKARA

PENJAGA WARISAN, PENGGERAK MARTABAT DAN EKONOMI LOKAL: TENUN IKAT DI PUNDAK BHAYANGKARA

Oleh : Herman Nai Buti

Juara 1 Lomba karya tulis HUT ke-79 Bhayangkara tahun 2025

“Ketika Bhayangkara melindungi tenun ikat, mereka tidak sekadar menjaga selembar kain, tetapi mereka sedang menjaga jati diri, harapan, dan penghidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur.” Kata "Bhayangkara" berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti penjaga, pengawal, pengaman, dan pelindung keselamatan negara dan bangsa.

Berawal dari masa Kerajaan Majapahit, Bhayangkara adalah sebutan untuk pasukan elit yang bertugas melindungi raja dan keluarganya. Kini, istilah Bhayangkara digunakan dalam Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menyebut Polisi yang lebih umum dikenal masyarakat. Menilik makna kata Bhayangkara tidak bisa dilihat secara sempit hanya sebagai unsur pengamanan fisik masyarakat tetapi harus ditelaah secara holistik dan lebih mendalam karena mengandung konotasi spiritual dan filosofis di dalamnya. Selain sebagai pelindung masyarakat, Bhayangkara juga berperan menjaga keseimbangan dan harmoni di dalam masyarakat kaitannya dengan tradisi, adat-istiadat, budaya dan spiritualitas masyarakat.

Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia yang tidak hanya dianugerahi dengan alam yang indah, namun juga keragaman budaya dan adatistiadatnya yang unik dan masih orisinil. Bumi FLOBAMORATA (Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, Lembata) menggambarkan keberagaman suku dan etnis dengan budaya, bahasa, musik, tarian hingga pakaian adat yang khas. Salah satu warisan budaya yang terkenal adalah tenun ikat – kain tradisional karya intelektual perempuan Nusa Tenggara Timur yang ditenun secara manual dan sarat akan makna simbolik di dalamnya. Tenun ikat Nusa Tenggara Timur tidak hanya bernilai estetis, tetapi mengandung nilai adat, filosofi kehidupan, sejarah dan menggambarkan identitas masyarakat Nusa Tenggara Timur (Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, 2021).

 Bhayangkara; Pengawal dan Penjaga Budaya NTT Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, Bhayangkara Nusa Tenggara Timur telah berkomitmen mengawal warisan budaya dan menjaga eksistensi tenun ikat Nusa Tenggara Timur. Selain aktif bekerjasama dengan masyarakat adat dalam melestarikan tradisi dan upacara-upacara adat, sejak 13 Maret 2023, personel Polda Nusa Tenggara Timur diwajibkan untuk menggunakan tas selempang bermotif tenun ikat dalam pelaksanaan tugas dalam lingkungan kepolisian sebagai bentuk pelestarian budaya dan identitas lokal. Sebuah implementasi nyata dari upaya pelestarian budaya dan nilai lokal oleh sebuah institusi negara. Keterlibatan kepolisian dalam melestarikan tenun ikat dan menjaga nilai-nilai budaya yang diwariskan ini semakin meningkatkan citra instansi kepolisian sebagai pengayom masyarakat yang humanis dan dekat dengan masyarakat. Sebagai pengayom masyarakat, polisi bukan hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga menjadi bagian yang aktif dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

 Dari sudut pandang semiotika budaya, hal ini merupakan bentuk representasi simbolik yang kuat. Dengan mengenakan tenun ikat, Polisi sebagai representasi negara dan kekuasaan hukum memberikan pengakuan dan legitimasi terhadap nilai-nilai budaya lokal, tidak hanya menunjukkan rasa bangga terhadap asal-usulnya, tetapi juga membawa pesan mendalam bahwa budaya lokal memiliki tempat yang terhormat dalam institusi kenegaraan. Bhayangkara; Katalisator Pemberdayaan Ekonomi Lokal Peran Bhayangkara bukan saja sebagai pelindung masyakarat dari ancaman fisik tetapi juga sebagai pengawal dan penjaga warisan budaya leluhur yang tak ternilai harganya sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal melalui dukungan terhadap industri tenun ikat. Penggunaan pakaian motif tenun ikat dalam berbagai acara kedinasan atau sebagai souvenir/cinderamata dalam berbagai kegiatan dan penggunaan tas selempang bermotif tenun ikat di lingkungan kepolisian memberi dampak pada peningkatan permintaan dan produksi kain tenun.

 

 Hal ini tentu membuka peluang yang lebih besar dan lebih luas bagi para penenun di daerah untuk mempromosikan dan memasarkan hasil tenun ikat mereka. Sebuah bukti kontribusi aktif Bhayangkara dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat lokal dengan membuka peluang pasar dan memperkuat posisi penenun dan pengrajin tenun ikat Nusa Tenggara Timur.

Fenomena ini menunjukkan peran kepolisian sebagai katalisator pemberdayaan ekonomi lokal, mendorong perkembangan sektor ekonomi kreatif berbasis budaya, membuka peluang kerja, mendorong regenerasi pengrajin muda, dan menciptakan ekosistem usaha kecil yang bekelanjutan. Bhayangkara; Inspirator Generasi Muda Di tengah masyarakat yang semakin terpapar budaya asing, generasi muda seringkali kehilangan kebanggaan terhadap budaya daerah sendiri. Namun, dengan kehadiran sosok Bhayangkara yang dengan bangga mengenakan tenun ikat membangkitkan inspirasi baru. Polisi yang cenderung diasosiasikan dengan ketegasan justru tampil elegan dan berwibawa dalam balutan tenunan tradisional.

 Terbentuk sebuah konsep edukasi kultural yang efektif bagi generasi muda Nusa Tenggara Timur, menanamkan nilai-nilai nasionalisme serta membangun rasa percaya diri dan cinta akan budaya dan produk lokal sendiri. Dengan demikian mereka dapat melihat bahwa budaya lokal tidak kalah menarik dan tetap bisa menjadi bagian dari identitas profesional. Sebagaimana diungkap oleh Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus berakar pada budaya sendiri, dan inilah bentuk pendidikan kultural melalui teladan visual (Ki Hadjar, 1935).

Bhayangkara; Etalase Budaya, Mengangkat Martabat Lokal di Level Nasional dan Internasional Salah satu aspek penting dari peran Bhayangkara dalam mengenakan tenun ikat adalah dampaknya terhadap promosi budaya di level nasional bahkan internasional. Ketika seorang anggota polisi tampil di tingkat nasional atau internasional menggunakan tenun ikat Nusa Tenggara Timur, secara otomatis ia membawa wajah Nusa Tenggara Timur ke ruang publik yang lebih luas. Dalam konteks ini, terjadi “diplomasi budaya non-verbal” yang sangat kuat – jembatan pengenalan budaya dan terciptanya sebuah promosi pariwisata, budaya dan ekonomi kreatif yang sangat efektif di tingkat global. Tenun ikat bukan lagi hanya selembar kain tradisional, tetapi secara otomatis ter-upgrade menjadi simbol kebanggaan daerah yang diperkenalkan ke seluruh penjuru dunia.

 Hal ini tidak hanya meningkatkan visibilitas budaya lokal Nusa Tenggara Timur tetapi juga memperkuat narasi bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan tradisi, budaya, dan pluralisme. Penutup Tenun ikat Nusa Tenggara Timur bukan sekedar warisan, tetapi potensi besar untuk membangun masa depan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang berakar pada budaya lokal sendiri. Kehadiran Bhayangkara sebagai pengawal dan penjaga budaya Nusa Tenggara Timur membuktikan bahwa instansi kepolisian bukan hanya bertugas menjaga hukum dan keamanan, tetapi menjadi pelindung warisan dan nilai-nilai luhur masyarakat,

menjaga budaya Nusa Tenggara Timur dari kepunahan, dan secara aktif mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. Harapannya, dengan sinergi antara instansi kepolisian dan masyarakat, budaya lokal tidak hanya tetap hidup, tetapi juga terus tumbuh dan berkembang dalam semangat zaman, sehingga kekayaan budaya bangsa tetap lestari dan menjadi kekuatan dalam membangun jati diri Indonesia yang beragam. Selamat Hari Bhayangkara ke-79, mari dukung Bhayangkara dan seluruh elemen bangsa untuk terus mengangkat budaya lokal dalam pelayanan Polri Presisi Mewujudkan Keamanan dan Kesejahteraan Masyarakat NTT Menuju Indonesia Emas 2045.