Hukum yang Menyentuh Nurani; Kunjungan Kasih Kapolres Suryanto Pagi itu, (Jumat 13 Desember 2024)

Hukum yang Menyentuh Nurani; Kunjungan Kasih Kapolres Suryanto Pagi itu, (Jumat 13 Desember 2024)

Oleh : Kristianus Nardi Jaya

Juara 2 lomba karya tulis HUT ke-79 Bhayangkara tahun 2025

Borong menyambut hari dengan diam yang ganjil. Awan-awan kelabu mengambang di atas perbukitan, seolah langit ikut menunduk atas kisah pilu yang baru saja mengguncang sebuah kampung kecil, bernama Golontoung. Di rumah gedek beratap seng, letaknya terpencil di antara ladang-ladang jagung dan ilalang tinggi, tujuh anak duduk diam. Mereka tak bermain. Tak juga bertanya. Mereka hanya duduk. Menatap pintu rumah yang tak kunjung terbuka. Seorang ibu yang biasa meninabobokan mereka kini berada di balik jeruji besi, sedangkan sang ayah telah terbujur kaku di dalam tanah. Sehari sebelumnya, rumah itu menjadi saksi bisu dari cekcok yang berubah jadi tragedi. Seorang suami pulang dalam keadaan mabuk, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi malam itu berbeda. Sang istri, MS, yang selama ini menahan sabar dan luka, akhirnya kehilangan kendali.

Dengan emosi yang meledak dan luka batin yang tak lagi tertampung, ia memukul suaminya. Satu pukulan yang mengubah segalanya. Suaminya tak bangun lagi. Ketika Hukum Bertemu Luka MS ditahan. Statusnya jelas tersangka pembunuhan. Tapi siapa pun yang menatap wajahnya akan ragu menyebutnya penjahat. la bukan kriminal yang terlatih, bukan pula pelaku kekerasan biasa. la hanya seorang ibu yang kalah oleh kelelahan jiwa, oleh tekanan hidup yang tak terkatakan. la memelihara tujuh anak, empat dari darah dagingnya sendiri, tiga lainnya adalah anak tiri yang sejak awal ia peluk dengan kasih yang sama. Kabar tragedi itu sampai ke telinga Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto, dan istrinya, Ny. Megawati Suryanto, yang juga Ketua Bhayangkari setempat.

 Bagi keduanya, ini bukan sekadar berita hukum. Ini adalah luka sosial yang harus segera disentuh dengan kehangatan, bukan hanya dengan aturan dan sanksi. "Kita harus ke sana," ucap Kapolres kepada istrinya. Bukan dalam nada instruksi, tapi seperti suara hati yang merasa terpanggil. Di Balik Jeruji Langkah kaki Kapolres dan rombongan Bhayangkari menyusuri koridor tahanan pagi itu pelan tapi mantap. Saat mereka tiba, MS duduk bersandar di tembok sel, matanya cekung dan wajahnya kusam. la tak bersuara ketika melihat tamunya datang. Tapi ada air yang menggantung di sudut matanya. Kapolres tak berbicara sebagai polisi. la bicara sebagai manusia. "Ibu MS," katanya lembut. "Kami datang bukan untuk menghakimi. Kami hanya ingin memastikan bahwa ibu tahu, masih ada yang peduli.

Proses hukum akan tetap berjalan, tapi hati kami bersama anak-anak ibu." MS hanya mengangguk, tangisnya pecah tanpa suara. Ny. Megawati menghampiri, duduk di lantai sel, lalu menggenggam tangan MS yang gemetar. "Kami Bhayangkari, kami juga para ibu. Kami tahu betapa beratnya semua ini. Tapi kami di sini, bukan hanya hari ini. Anak-anakmu akan kami jaga. Kamu tidak sendiri." Kata-kata itu tak mengubah kenyataan, tapi mengubah rasa. Dalam sel sempit itu, hadir ruang yang tak terlihat. Ruang harapan. Tujuh Pasang Mata, Tujuh Harapan.