Keamanan Bukan Sekadar Seragam: Evaluasi Urgensi Polri Presisi di NTT Menjelang 2045

Oleh : Mira Delita Sari Taneo
Juara 3 lomba karya tulis HUT ke-79 Bhayangkara tahun 2025
“Indonesia Emas 2045”?. Kalimat ini seperti tidak asing di telingaku. Bukan sekedar kalimat biasa, kini menjadi slogan nasional dan menjadi sebuah mimpi kolektif bersama. Tetapi, mimpi ini hanya akan menjadi utopia belaka, tanpa adanya pijakan realita. Dari tanah timur Indonesia, Nusa Tenggara Timur, mimpi itu seakan diuji oleh realita: keterbatasan infrastruktur, minimnya personel Polri, dan lemahnya jangkauan layanan keamanan. Maka pertanyaannya, sudah sejauh apa langkah dari Polri Presisi menuju mimpi besar itu? Keamanan menjadi salah satu tolak ukur kebutuhan dasar setiap warga negara.
Namun di beberapa wilayah, khususnya di Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), keamanan sering kali dipersepsikan sebatas kehadiran aparat berseragam di jalan-jalan. Di balik simbol itu, muncul pertanyaan lebih dalam: apakah keamanan benar-benar hadir dan dirasakan secara nyata oleh masyarakat? Bagaimana dengan konsep Polri Presisi? yang menekankan pendekatan Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan yang diperkenalkan sebagai wujud transformasi Polri menuju institusi modern, humanis, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Namun, saat bangsa ini menargetkan menjadi negara maju menjelang Indonesia Emas 2045, sangat relevan untuk dijadikan bahan evaluasi: sudahkah Polri Presisi menjawab kebutuhan riil masyarakat NTT, ataukah masih menjadi slogan yang belum sepenuhnya membumi?. Diproyeksikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri Presisi memiliki tujuan membentuk institusi kepolisian yang profesional, responsif, dan terbuka terhadap pengawasan publik. Dalam implementasinya, pendekatan tersebut mendorong pemanfaatan teknologi, reformasi birokrasi, serta penguatan integritas dan pelayanan publik. Dilain sisi, NTT sebagai provinsi dengan tantangan geografis dan sosial yang kompleks, hal ini menguji implementasi konsep tersebut secara nyata. Luas wilayah NTT mencapai 47.350 km² dengan populasi sekitar 5,1 juta jiwa, tersebar di ratusan pulau, menjadi tantangan serius bagi institusi yang bergantung pada mobilitas dan kehadiran di lapangan.
Dari pendataan Rakernis SDM Polda NTT tahun 2024 mengungkap bahwa jumlah personel Polri di wilayah ini baru mencapai 44% dari kebutuhan yang seharusnya. Artinya, dari sisi sumber daya manusia saja, program Polri Presisi menghadapi keterbatasan serius. Beban kerja yang tinggi dan jangkauan wilayah yang luas membuat efektivitas pelayanan menjadi tidak merata, khususnya di daerah terpencil dan rawan konflik. Meski dengan berbagai keterbatasan yang ada, beberapa langkah nyata telah dilakukan oleh Polda NTT. Terhitung pada April 2024, misalnya, Polda NTT menggelar Patroli Perintis Presisi di Kota Kupang dan sekitarnya. Sebanyak 28 personel dilibatkan, dengan dukungan kendaraan operasional seperti sepeda motor KLX dan mobil D-Max.
Kegiatan ini bertujuan untuk memelihara keamanan, mencegah tindak kriminal, dan meningkatkan kehadiran polisi di tengah masyarakat sebuah langkah konkret meskipun dengan berbagai keterbatasan jangkauannya. Selain itu, program Bazar Ramadhan Polri Presisi pada Maret 2025, menjadi salah satu jawaban bahwa Polri juga mulai mengambil peran sosial-ekonomi.
Bazar ini membantu masyarakat menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang Idul Fitri. Tindakan ini membuktikan bahwa keamanan tak hanya berkaitan dengan hukum, tetapi juga kesejahteraan. Pada Februari 2025, Polda NTT juga menggelar Bakti Sosial Presisi yang melibatkan kolaborasi mahasiswa dan organisasi kepemudaan. Ini menjadi bukti bahwa pendekatan humanis dan kolaboratif mulai diterapkan, meskipun skalanya masih bisa diperluas dan dimatangkan.
Akan tetapi, terobosan-terobosan ini belum cukup untuk menutup berbagai kesenjangan yang ada. Kekurangan personel adalah Urgensi permasalahan. Berkaca dalam konteks geografis NTT, satu pos polisi bisa mencakup beberapa desa dengan akses yang cukup sulit. Di lain sisi, literasi hukum masyarakat juga masih rendah, sehingga kehadiran polisi tidak selalu dipahami sebagai pelindung, melainkan sebagai penguasa. Keterbatasan infrastruktur juga menjadi hambatan sangat serius.
Beberapa wilayah bahkan belum memiliki jaringan komunikasi yang stabil, mempersulit koordinasi dan respons cepat terhadap berbagai laporan masyarakat. Selain itu juga dipersulit oleh anggaran operasional yang terbatas, menyebabkan banyak program Polri Presisi tidak berjalan maksimal, hanya menjadi program simbolik tahunan. Menuju Indonesia Emas 2045, Polri perlu memperluas jaringan konsep Presisi dari kota ke desa, dari pusat ke pinggiran. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh diantaranya: Peningkatan Rekrutmen Lokal, dengan merekrut putra-putri daerah untuk menjadi anggota Polri akan mempermudah adaptifitas dengan kedekatan kultural antara pihak aparat dan masyarakat.
Investasi, Infrastruktur & Teknologi, dengan memperluas jaringan komunikasi dan penyediaan kendaraan operasional di wilayah yang sulit dijangkau, juga sangat membantu efektivitas pengamanan. Kemitraan Sosial & Adat, menggandeng tokoh adat, tokoh agama, dan organisasi kepemudaan, pemuda lokal dalam menjaga keamanan dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Pelatihan Humanis & Anti-Represif, Polri harus dilatih tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelayan masyarakat yang memahami konteks sosial masyarakat lokal. Kata keamanan bukan hanya sekedar soal seragam, sirine, atau barikade. Tetapi keamanan adalah soal rasa aman, keadilan, dan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya.
Di NTT, program Polri Presisi telah menunjukkan arah yang benar, namun masih memerlukan banyak perbaikan, terutama dalam hal pemerataan, integritas, dan adaptasi lokal. Menyambut Indonesia Emas 2045, Polri tidak bisa hanya sekedar menjadi simbol kekuasaan, tetapi harus menjadi mitra sejati rakyat, hadir bukan hanya dalam wujud, tapi dalam makna.
#Polri Untuk Rakyat.