Dari Lonceng Gereja ke Barisan Bintara: Perjalanan Anak Koster Menuju Seragam Polri

Kupang — Di balik dentang lonceng gereja yang mengundang umat untuk beribadah, ada sosok remaja yang diam-diam menyulam mimpi besar. Namanya Julio Sebastian, 17 tahun. Seorang anak koster, tukang ojek, tukang bangunan, guru sekolah minggu, dan kini, calon Bintara Polri lulusan terbaik Polresta Kupang Kota.
Julio menempati peringkat pertama dari 17 peserta dalam seleksi penerimaan terpadu Polri Tahun Anggaran 2025 di bawah Panda Polda NTT. Mimpinya tak diraih dalam semalam. Ia tumbuh dalam keterbatasan, namun tidak pernah kehilangan harapan.
Anak kedua dari empat bersaudara ini dibesarkan oleh ibunya, Elisabeth Dawang, seorang perempuan tangguh yang sejak lama menjadi tulang punggung keluarga setelah ditinggal suami tanpa pesan. Dari mengojek, mencuci, menyetrika, hingga menjadi koster di GMIT Emaus Liliba, Kupang, Elisabeth tak pernah lelah berjuang.
Julio tumbuh menyatu dalam perjuangan itu. Bersama kakak dan adik-adiknya, ia membersihkan gereja, membantu jemaat, dan sesekali menggantikan sang ibu mengantar anak-anak sekolah. Di sela waktu, ia juga bekerja sebagai tukang bangunan bersama pamannya, Zadrak Dawan, yang memperlakukannya seperti anak sendiri.
Ketika menyatakan ingin ikut seleksi Polri, sang ibu sempat ragu. “Kita orang kecil, Julio...,” ujar Elisabeth. Tapi Julio menjawab dengan yakin, “Kita punya Tuhan, Ma.”
Keyakinan itu ia bawa dalam setiap tahap seleksi. Dari akademik hingga jasmani, Julio hadapi dengan usaha dan doa. Bahkan ketika sang ibu kecelakaan dan harus berhenti sementara dari mengojek, Julio mengambil alih semua pekerjaan rumah.
“Saya singgah ke rumah salah satu majelis, dan beliau bilang: Berjuanglah sampai titik darah penghabisan. Kita memang tidak punya apa-apa, tapi kamu bisa,” kenang Julio.
Pesan itu menjadi mantra dalam setiap langkahnya. Saat tes jasmani, ia hampir menyerah di lintasan lari. Namun suara dari dalam hatinya membisikkan semangat. Hasilnya, ia menyelesaikan lebih dari delapan putaran dalam 12 menit—nilai maksimal.
Di tengah seleksi, ia tetap mengantar jemput anak sekolah, memelihara ternak, membantu di gereja, dan aktif di pemuda GMIT. Tak hanya itu, ia juga mengajar sekolah minggu. “Paman kami bilang, kalau tidak ke gereja, jangan harap bisa makan,” ujarnya sambil tertawa.
Kini, di antara para calon Bintara, nama Julio Sebastian tercatat paling atas. Tapi ia tak melambung. Pesan ibunya membumi dalam hatinya: "Takut akan Tuhan, rendah hati, dan jangan sombong."
Bagi Julio, seragam Polri bukan lambang kekuasaan. Tapi alat untuk mengabdi. "Saya ingin menjadi anggota Polri yang benar-benar melayani," ucapnya mantap.
Dari rumah sederhana di Kelurahan Liliba, suara doa terus mengalun. Karena bagi mereka, perjuangan belum selesai. Tapi satu hal pasti, mimpi yang diperjuangkan dalam keringat, kerja keras, dan iman—tidak akan pernah sia-sia.